Patrick Walujo, GOTO dan Akhir Era Bakar Uang

Pada Tangal 19 August 2023 | Dilihat 324 Kali

Patrick Walujo. Di kalangan pelaku industri keuangan, siapa yang tidak mengenal nama tersebut? 

Northstar Group, perusahaan private equity dan venture capital yang didirikannya pada 2003, telah menjadi entitas bisnis yang sangat dikenal di Asia Tenggara. Patrick, melalui Northstar, aktif berinvestasi di berbagai lini bisnis di Indonesia. 

Kiprah mentereng alumni Cornell University di dunia investasi telah lama membuat saya penasaran dengan sosok satu ini. Karena itu, ketika ada undangan untuk bertatap muka dengan Patrick Walujo tengah pekan lalu, saya langsung mengiyakan.

Bagi Patrick, acara ramah-tamah dengan sejumlah pimpinan media, Rabu (16/8) malam, menjadi pengalaman pertamanya sebagai orang nomor satu di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO). Dia dikukuhkan sebagai direktur utama pada rapat pemegang saham (RUPS) GOTO 30 Juni 2023 silam. Sebelum santap malam, Patrick menyapa semua tamu undangan satu persatu danmelibatkan diri dalam berbagai obrolan. Termasuk dengan saya. Alih alih bertanya soal kinerja, saya manfaatkan momentum berharga ini untuk curhat. Saya mengeluhkan biaya aplikasi dan ongkos kirim GoFood yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. 

“Sekarang kalau pesan GoFood mahal banget,” kata saya. Sebagai pelanggan GoFood, terutama di era pandemi Covid-19, saya merasakan betul perubahan harga ini. Selain ada biaya platform (biaya transaksi), biaya ongkos kirim  juga lumayan naik. Merchant juga ada yang menaikkan harga produk, sehingga harga yang tertera di aplikasi berbeda dengan harga di merchant. 

Kritik itu meluncur begitu saja. Saya peduli karena selama ini menikmati manfaat yang ditawarkan GoFood. Sementara di sisi mitra GoFood, terutama untuk usaha kelas rumahan,tentu banyak yang terbantu oleh aplikasi ini. Mereka bukan hanya mampu bertahan melewati pandemi, melainkan juga untuk jangkau

Saya kaget ketika Patrick merespons pertanyaan yang agak sensitif itu di hadapan forum. Dengan gaya bicara santai, dia mengakui order makanan di GoFood saat ini tidak lagi sama seperti dulu. 

Maksudnya, aplikasi mengenakan biaya atau komisi yang sewajarnya. Tapi, karena pemain lain masih memberikan subsidi dan promosi, GoFood terkesan lebih mahal.

“Kami memang sengaja memangkas insentif, promosi dan bentuk subsidi ke pelanggan. Kami juga mengenakan biaya ke merchant sehingga beberapa merchant membebankan biaya itu ke pelanggan dalam bentuk menaikkan harga,” katanya.

Patrick menjelaskan langkah tidak populis ini harus ditempuh karena perusahaan wajib memperbaiki fundamental dan neraca keuangan agar bisa tumbuh secara berkelanjutan. Tanpa pertumbuhan yang sehat, GOTO lambat laun akan kehilangan kekuatannya dalam melayani pengguna dan merchant. 

“GOTO tidak boleh gagal, seberat apapun tantangannya. Dalam konteks ini, kami meyakini praktik bakar uang bukan cara yang sehat dalam meraih pertumbuhan dan memenangkan   persaingan. Strategi bakar uang sudah  kami tinggalkan,” katanya. 

Dalam konteks perang harga dan kompetisi berdarah-darah, sikap Patrick jelas. Jawabannya tidak berputar-putar atau sekadar berusaha diplomatis.

“Kami memilih fokus pada kekuatan yang kami miliki sendiri. Kami punya kemampuan melakukan itu karena kami unik dengan kekuatan ekosistem yang lengkap dan terintegrasi. Tantangannya adalah mengoptimalkan berbagai kekuatan  tersebut  dan  mempercepat eksekusi,”katanya.

Patrick pun bercerita tentang awal mula perlombaan bakar uang di startup dan mengapa sekarang kondisinya berubah drastis. Dulu, cerita Patrick, kalau konsumen membayar produk, misalkan harga Rp100, maka harga sebenarnya itu Rp120. Selisih 20 perak ini disubsidi oleh pemilik aplikasi. 

Lalu kenapa perusahaan menyubsidi atau membiarkan dirinya merugi? “Karena kami ingin pelanggan mau bertransaksi terus di aplikasi. Karena kami ingin menciptakan experience agar nanti mereka mau balik lagi,” katanya.  

Praktik bakar ini tentu terus meningkat skalanya seiring membesarnya pangsa pasar. Dulu, dia mencontohkan, bakar Rp20 untuk 1.000 pelanggan,  beberapa tahun berikutnya subsidinya bukan lagi untuk 1.000 pelanggan, tapi untuk jumlah yang jauh lebih besar. Ini terjadi seiring bertambahnya  jumlah pengguna dan meningkatnya volume transaksi. 

Di saat bersamaan, muncul kompetitor baru dari luar negeri dengan sokongan finansial yang lebih besar. Mereka berani jor-joran karena prospek pasar yang besar. Kehadiran kompetitor bermodal  kuat itu  membuat perlombaan bakar uang  semakin menjadi-jadi. 

Hingga kemudian, muncul tech winter.  Inflasi dan era bunga tinggi membalikkan keadaan dengan  sangat cepat. Suku bunga tinggi telah menjadi game changer. Para pembakar uang ini kemudian sadar, semakin terbatas duit investor yang bisa dibakar demi market share. 

Melewati musim dingin yang keras, semua pemain di bisnis ini mengubah strategi ke pertumbuhan yang berkualitas. “Kalau masih ada yang pakai cara bakar uang, kami tidak mau ikut- ikutan. Kami meyakini,  pelanggan dan mitra akan tetap memakai aplikasi kami karena faktor kenyamanan dan kebutuhan,” katanya.  

Tapi, Patrick mengakui, mengandalkan konsumen loyal saja tidak cukup. Segmen pasar yang peka harga juga mesti direbut karena kue terbesar ada di sini. 

"Untuk mencapai profitabilitas sepanjang 12 bulan terakhir, basis konsumen kami bergeser menuju konsumen yang memprioritaskan kenyamanan di atas harga. Namun, untuk mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan, kami harus memperluas jangkauan pasar dengan merancang berbagai produk yang  dapat menjawab kebutuhan konsumen yang memperhatikan harga,” katanya. 

Dari sinilah lahir ide mode hemat, baik di bisnis on demand service (ODS) maupun ecommerce. Solusi  ini, menurut Patrick,  menjawab tiga tantangan dekaligus. Pertama, pelanggan punya opsi  bayar  dengan harga terjangkau. Kedua, mitra driver dan merchant berpeluang mendapatkan lebih banyak  order. Ketiga, pemilik aplikasi  dapat meningkatkan volume transaksi sehingga berdampak positif ke revenue. 

Akankah pilihan strategi GOTO berhasil? Waktu yang akan menjawab. Namun, untuk kondisi saat ini, strategi meninggalkan bakar uang rasanya menjadi pilihan tepat dalam mengarungi jalan kompetisi yang panjang. Toh, yang namanya bisnis, agar berkelanjutan, ujung-ujungnya ya bottom line. Laba.

Source: IDX Channel