Memanfaatkan Momentum Crash Pasar Saham

Pada Tangal 29 June 2020 | Dilihat 1355 Kali

Banyak dari kita di pasar modal yang berpikir bahwa market crash merupakan sesuatu yang menakutkan, akhir dari segalanya dan perjalanan kita sebagai investor saham berhenti sampai disini. That totaly wrong! Seperti yang kami jelaskan pada artikel sebelumnya yang berjudul “Saat Yang Tepat Belanja Saham” disana kami menerangkan bahwa market crash itu bukanlah hal yang menakutkan, akhir dari segalanya melainkan big opportunity bagi mereka yang belajar dari sejarah dan berani take action. Buktinya setiap kejatuhan bursa saham, selalu ada orang kaya baru yang lahir kan? Lalu bagaimana cara orang tersebut memanfaatkan peluangnya?

Sebelum kita jauh membahas bagaimana teknis untuk memanfaatkan peluang kejatuhan dipasar modal, mari kita ketahui dahulu apa yang menggerakkan harga saham. Pasti teman-teman akan menjawab; kinerja fundamental perusahaan, pertumbuhan ekonomi, atau mungkin ketika MACD akan goldencross? Well, itu sah-sah saja. Namun bagi kami di Narmada kita sepakat harga itu digerakkan oleh permintaan dan penawaran atau bahasa lainnya yang menciptakan adanya permintaan dan penawaran adalah harapan dan ketakutan. That way, stock price can move higher! Lalu apakah salah pernyataan; kinerja bagus saham akan naik? Tidak salah, secara teori memang seperti itu, namun di real market terkadang harga saham tidak harus bergerak sesuai fundamentalnya, in case labanya anljok kok sahamnya naik, pernah dengar? Itulah anomali pasar. Tapi kuncinya disini harga saham selalu digerakkan oleh harapan dan ketakutan yang didapatkan melalui informasi (berita).

Okey, jika teman-teman sudah sepakat dengan hal tersebut maka kita bisa melanjutkan dengan cara memanfaatkan peluangnya. Di pasar modal, saat terjadi crash seperti sekarang tentunya ada dua tipe investor; investor yang sudah hold saham ataupun 100% cash (biasanya trader). Mungkin yang all cash masih bisa tersenyum karena tinggal nunggu market bottom toh baru kemudian all in? Atau investor yang lagi hold saham kebingungan untuk averaging sampai kapan. Persamaan dari keduanya adalah mereka tidak mengetahui kapan market akan bottom yang mana dapat merugikan jika salah mengambil keputusan.

Narmada Investama

Gambar diatas menunjukkan penurunan IHSG dari awal tahun hingga saat ini. IHSG mencapai bottomnya pada bulan maret pada angka 3911 dan hingga juni ini IHSG telah terkoreksi sebesar -21.55%. Penurunan terbesar tentu ada pada sektor finance yang memiliki bobot terbesar pada IHSG, bahkan BBRI sempat turun hingga -50% YTD. Tentunya investor dipasar modal akan mengharapkan harga BBRI ataupun IHSG turun lagi agar dapat harga yang sangat-sangat murah. Namun faktanya, mereka yang mengharapkan turun lebih dalam lagi malahan ketinggalan kereta ketika BBRI naik dari akhir maret hingga saat ini dengan inflow asing yang sangat besar hingga 1,2 triliun dalam semingguan.

Memang betul krisis di tahun 2020 belum berakhir dan mungkin masih tahap awal menuju pertengahan. Namun, dari pelajaran diatas kita sebagai investor saham sebaiknya tidak usah menebak harga saham terlalu over atau mengharapkan penurunan yang sesuai dengan keinginan kita, karena itu akan sia-sia saja. Lalu bagaimana caranya agar kita tidak ketinggalan kereta seperti maret lalu, jika memang market telah valid hit bottom. Jawabannya adalah Dollar Cost Averaging.

Dollar Cost Averaging adalah sebuah metode mencicil untuk membeli saham yang mana kita melakukannya secara rutin bukan lump sum (all in). Perbedaan strategi DCA dengan lump sum yakni tergantung pada kondisi pasar. Jika pasar cenderung bullish maka strategi lump sum cukup efektif digunakan, namun untuk market bearish seperti market crash maka kita tidak mungkin all in sekali pada satu saham karena kita tidak tahu kapan bottomnya terbentuk dan tentunya ada kemungkinan penurunan lagi. Dalam studi komprehensif Lucile Thomlinson menyajikan kalkulasi dari hasil DCA selama 1929 hingga 1952 (great depression) pada beberapa saham di bursa Amerika Serikat. Thomlinson melaporkan ada keuntungan rata-rata 21,5%. Yang mana keuntungan tersebut dapat mengalahkan inflasi. Jadi strategi ini telah terbukti sekalipun pada saat depresi hebat dan digunakan oleh investor guru dari Warren Buffett yakni Benjamin Graham. Lalu bagaimana DCA yang baik dilakukan saat ini? berikut tips dari kami;

  1. Untuk investor all cash

Keuntungan terbesar ada pada tipe investor ini, mereka memiliki peluang untuk mengakumulasi saham dengan leluasa. Cara terbaik yakni dengan melakukan averaging based on price. Misalnya jika harga BBRI turun 7% setiap penurunan tersebut teman-teman boleh membeli 5-10% dulu (dari total portofolio), jadi masih ada 6 bulan di tahun 2020 (dari juni) untuk mengakumulasinya. Sehingga pada akhir tahun cash teman-teman akan bersisa sebesar 40%. Which is itu cukup besar untuk menambah kembali dan melihat perubahan ekonomi di tahun 2021 nantinya yang diprediksi akan segera membaik karena aktivitas ekonomi yang mulai dibuka (asumsi; second wave tidak signifikan).

 

  1. Untuk investor hold stock

Ada dua cara jika cash teman-teman menipis dan tidak cukup untuk melakukan DCA sampai akhir tahun ini. Yang pertama yakni top-up lagi atau yang kedua menjual saham yang terdampak besar untuk dialihkan (switch) ke saham yang memiliki peluang cukup besar. Lakukan averaging dengan hati-hati, sebaiknya averaging based on price juga dan usahakan selalui menyisakan idle cash 20-35% untuk jaga-jaga dan memanfaatkan peluang yang ada.

Itulah teknik untuk memanfaatkan peluang dari kejatuhan bursa versi Narmada, jika teman-teman adalah investor yang saat ini sedang hold stock dan kebingungan untuk mengambil keputusan dengan risiko yang terukur, maka segera konsultasikan kepada kami. Sekian dan terimakasih